PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia terus bertumbuh dan berkembang semasa hidupnya. Setiap manusia pasti melewati beberapa tahapan kehidupan, mulai dari lahir, tumbuh dewasa, hingga lanjut usia (Rosalinda & Michael, 2019 dalam (Fazira et al., 2022). Masa dewasa awal merupakan transisi dari masa remaja yang pada umumnya masih menjalani kehidupan yang santai dan hura-hura, menuju masa yang menuntut dan dituntut akan rasa tanggung jawab. Perkembangan masa dewasa awal ini dimulai pada saat seseorang menginjak usia 20 tahun sampai 40 tahun (Putri, 2018). Tidak dapat dipungkiri pada masa dewasa awal seseorang rentan mengalami permasalahan hidup, baik dari pengaruh internal maupun eksternal.
Pada masa sekarang muncul sebuah fase yang terkenal dikalangan generasi Millenial dan Gen Z yaitu fase Quarter Life Crisis. Istilah quarter life crisis biasanya digunakan diberbagai media sebagai ungkapan untuk menggambarkan kesulitan-kesulitan yang muncul dan dialami oleh orang dewasa karena ketidakyakinan akan keputusan yang harus diambil dalam hidup (Robbins dalam Murphy, 2011).
Quarter life crisis termasuk dalam tahap perkembangan manusia dari masa remaja menuju masa dewasa, dimana individu akan mengalami masa transisi dan menghadapi berbagai krisis, baik secara fisik maupun psikologis. Pada tahap perkembangan ini setiap individu pada umumnya akan mulai merencanakan tujuan hidup dan masa depan, serta pengambilan-pengambilan keputusan hidup (Nurhadianti, 2021 dalam (Theresia, 2023).
2. Tahap Dewasa Awal
Istilah adult atau dewasa berasal dari kata kerja latin yang
berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah seseorang
yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukannya di
masyarakat berdampingan dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1980).
Tahap dewasa awal yaitu antara usia 20 tahun samapi 40 tahun. Pada tahap
ini individu mulai menerima dan memikul tanggung jawab yang lebih berat, pada
tahap ini pula hubungan intim mulai berlaku dan berkembang. Mereka memiliki
peran dan tanggung jawab yang tentu saja semakin besar. Individu tidak lagi
harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun fisiologis pada orang tua
atau walinya (Dariyo, 2008).
Adapun ciri-ciri seseorang yang matang dan telah memasuki tahapan dewasa
awal menurut (Mappiare, 1983) yaitu :
a. Berorientasi pada tugas dan tidak condong pada
perasaan-perasaan diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi.
b. Adanya tujuan-tujuan yang jelas dan
kebiasaan-kebiasaan yang efisien, seseorang yang matang pemikirannya dapat
melihat tujuan-tujuan yang ingin dicapainya secara jelas, dan tujuan-tujuan itu
dapat didefinisikannya secara cermat dan tahu mana yang pantas dan yang tidak, serta
bekerja secara terarah.
c. Objektifitas, seseorang yang matang memiliki
sikap objektif yaitu berusaha mencapai keputusan dalam keadaan yang sesuai
dengan kenyataan yang sedang dihadapinya.
d. Dapat menerima kritik dan saran, seseorang yang
matang memiliki kemauan yang realistis dan paham sepenuhnya bahwa dirinya tidak
selalu benar, sehingga pikirannya dapat terbuka terhadap kritik dan saran orang
lain demi peningkatan dirinya.
Melalui ciri-ciri tersebut individu yang sedang berada ditahap
perkembangan dewasa awal, tentunya juga dituntut untuk memiliki tugas-tugas yang
umumnya harus dipenuhi menurut (Nurhazlina Mohd. Ariffin, 2021) diantaranya, yaitu :
a. Mulai berfokus pada karir dan pekerjaan yang
menghasilkan.
b. Memiliki relasi sebagai tempat mengembangkan
kemampuan sosial yang tepat.
c. Mulai bertanggung jawab sebagai warga Negara.
d. Menentukan individu lain untuk menjadi pasangan
hidup.
e. Belajar menjalani kehidupan dengan pasangan.
f. Hidup dalam sebuah keluarga yang dibangun sendiri, serta menanamkan nilai parenting dalam proses merawat dan membesarkan keturunan.
3. Decision Making atau Pengambilan Keputusan
Dalam menjalani tugas-tugasnya sebagai individu yang telah memasuki
tahapan dewasa awal pada umumnya butuh penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan
yang baru dan harapan-harapan sosial yang baru. Maka dibutuhkan pengambilan
keputusan-keputusan besar dalam hidup. Gullies dalam Mandei, 2010 mengatakan, pengambilan
keputusan adalah suatu proses kognitif yang tidak terburu-buru, terdiri dari
rangkaian tahapan yang dapat dianalisis, diperhalus, dan dipadukan untuk
menghasilkan akurasi serta ketelitian yang lebih besar dalam menyelesaikan
masalah dan memulai tindakan (Wiraswati & Supriyadi, 2015).
Menurut Eisenfuhr 2011
mengatakan, decision making merupakan sebuah proses pangambilan
keputusan dengan melibatkan berbagai pertimbangan dan pertentangan yang terjadi,
sehingga terlihat dilematis dalam diri seseorang untuk mengambil keputusan.
Pengambilan keputusan adalah sebuah proses untuk membuat pilihan dari banyaknya
alternatif untuk mencapai hasil yang terbaik yang diharapkan (Corriana,
2023).
Pengambilan keputusan mempunyai arti penting bagi keberhasilan atau gagalnya individu. Pengambilan keputusan yang tepat akan menghasilkan suatu perubahan terhadap individu ke arah yang lebih baik, maupun sebaliknya pengambilan keputusan yang salah akan berdampak buruk terhadap kehidupan individu. Keputusan berarti hasil akhir dalam mempertimbangkan sesuatu yang akan dilaksanakan secara nyata, keputusan dapat diartikan sebagai hasil terbaik dalam memilih satu dari lebih alternatif pilihan (Manalu, 2020).
Menurut (Septiana, 2014) terdapat beberapa langkah dalam proses pembentukan keputusan. Adapun langkah-langkah tersebut yaitu:
b. Mentukan pilihan. Dalam mengambil keputusan, individu dapat mencari berbagai pilihan kemungkinan untuk menyelesaikan masalah atau situasi yang sedang dialami. Bertujuan untuk menemukan solusi terbaik yang sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi.
c. Tindakan pada keputusan. Setelah membuat pilihan maka dibutuhkan keputusan akhir, penting untuk individu menempatkan keputusan tersebut ke dalam tindakan. Hal ini dapat membantu untuk membuat langkah-langkah nyata, serta daftar bagaimana rencana selanjutnya untuk melaksanakan keputusan yang telah diambil.
d. Mengevaluasi hasil. Langkah terakhir dari proses ini yaitu untuk menganalisis hasil dari keputusan yang telah diambil. Analisis ini akan membantu individu untuk menentukan efektivitas proses pengambilan keputusan.
Namun, tidak jarang
individu yang sedang berada pada tahap pengambilan keputusan dimasa dewasa awal
tersebut merasa cemas dan kewalahan terhadap situasi yang sedang dihadapinya.
Sehingga dapat menimbulkan keresahan dan mengalami fase quarter life crisis.
4. Fase Quarter Life Crisis
Memasuki tahap perkembangan dewasa awal, individu akan mendapat banyak
tuntutan dan tantangan dari lingkungannya. Banyaknya tuntutan dan tantangan
yang dihadapi dapat membuat individu merasa cemas dan khawatir memilih
alternatif yang tepat yang harus dijalani. Biasanya individu yang tidak mampu
merespons lingkungannya dengan baik, akan merasa terganggu kondisi
psikologisnya. Individu yang tidak mampu merespons dan melewati tahapan
perkembangannya dengan baik dari berbagai permasalahan yang dihadapi, diperkirakan
mengalami berbagai masalah psikologis, seperti memiliki perasaan bimbang dan
kebingungan dalam suatu ketidakpastian, serta dapat mengalami krisis emosional
atau yang biasa disebut dengan quarter life crisis (Robbins &
Wilner, 2001; Atwood & Scholtz, 2008 dalam (Permatasari, 2021).
Istilah quarter life crisis diperkenalkan pertama kali oleh
Alexandra Robbins dan Wilner (2001), yang berangkat dari teori emerging
adulthood dari Jeffrey Arnett seorang psikolog dari Amerika (2000). Kondisi
quarter life crisis biasa terjadi ketika individu memasuki tahap dewasa
awal, atau saat memasuki usia 20 tahunan. Oleh karena itu Robbins dan Wilner
(2001) menyebut krisis emosional yang terjadi pada kondisi ini dengan istilah “twenty
something”, dikarenakan kondisi tersebut banyak dialami dan ditemui pada
individu yang menginjak usia 20 tahunan (Atwood & Scholtz, 2008 dalam (Permatasari, 2021).
Menjadi
dewasa memiliki tantangan tersendiri dan juga dapat dikatakan sebagai masa
sulit bagi seorang individu, karena pada masa ini individu dituntut untuk
melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua dan berusaha untuk dapat
berdiri sendiri. Menurut Robbins, 2015 dalam (Rustandi, 2022) pada quarter life crisis dibedakan menjadi
dua bentuk, yaitu :
a. The
Locked out form
Bentuk The Locked out form terjadi pada individu yang gagal menjalani kehidupan sebagai individu yang sudah memasuki fase dewasa awal. Pada tahap ini individu merasa gagal dalam kehidupan sosial, merasa tidak memiliki hubungan yang baik dengan masyarakat, tidak memiliki kehidupan karir atau pekerjaan sehingga mengalami masalah tidak mandiri secara finansial. Pada fase pertama dalam bentuk ini, individu akan merasa optimis ketika memasuki peran sosial yang menantang bagi individu tersebut, tetapi dapat menjadi awal dari adanya rasa kecewa dan frustasi. Pada fase kedua mencakup hubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, akan tetapi ditahap ini individu akan terus menerus mengalami kegagalan sehingga menyebabkan perasaan cemas bahkan depresi. Fase ketiga, individu mulai merenungkan perilaku diri sendiri serta memikirkan dan mencari solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi. Pada fase keempat mulai merencanakan strategi baru agar mencapai tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Pada fase ini biasanya individu berkompromi pada pencapaian dan perubahan tujuan dalam hidupnya. Pada akhirnya fase ini akan diakhiri dengan kemajuan pada peran yang tetap dan tidak seperti pada awal krisis.
b. The
Locked in form
Bentuk The Locked in form terjadi disaat individu merasa terperangkap dalam menjalani peran sebagai individu yang sudah dewasa. Hal ini terjadi disaat individu mulai merasa adanya tanggung jawab sebagai individu yang dewasa, serta adanya harapan agar dapat berpengaruh positif terhadap kehidupannya sendiri. Akan tetapi individu meyakini bahwa perasaan tersebut tidak begitu mengharapkannya, sehingga individu merasa kebingungan dan terjebak dalam fase ini yang berakhir pada frustrasi.
Menurut (Fazira et al., 2022) faktor-faktor yang mempengaruhi quarter life
crisis dibagi menjadi 2, yaitu faktor eksternal dan faktor internal :
a. Faktor eksternal
Biasanya berasal dari
faktor lingkungan, seperti tekanan-tekanan dan standarisasi yang ada di
masyarakat. Faktor media sosial, dimana sebagian orang menjadikan media sosial
sebagai ajang untuk memamerkan sesuatu yang dimiliki atau pencapaiannya. Hal
ini dapat menjadi pemicu orang lain untuk membanding-bandingkan hidupnya
sehingga pada akhirnya merasa tertinggal.
a. Faktor internal
Faktor yang berasal dari
diri sendiri, adanya konflik yang dialami individu akibat dari memandang rendah
dirinya, karena pencapaian yang tidak sesuai ekspektasi sehingga menimbulkan
rasa frustrasi.
a. Merasa bingung, tidak termotivasi, dan khawatir terhadap masa depannya.
b. Mulai mempertanyakan tujuan hidup dan pencapaian.
c. Mulai membandingan diri dengan pencapaian orang lain.
d. Merasa iri dengan teman sebaya yang sudah lebih dahulu mencapai impiannya.
e. Sulit membuat keputusan ketika dihadapkan dengan beberapa pilihan.
Meskipun individu sedang berada dalam fase quarter life crisis, namun krisis ini dapat menjadi suatu titik balik yang baik bagi individu tersebut, jika menghadapinya dengan positif dan percaya bahwa situasi ini akan berakhir. Berikut adalah beberapa cara untuk meghadapi quarter life crisis secara positif (Theresia, 2023):
a. Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain, fokuslah pada usaha diri sendiri agar mendapatkan hasil yang maksimal.
b. Menyusun rencana hidup, mulailah membuat perencanaan dan target hidup untuk 1-5 tahun kedepan secara bertahap, dengan demikian individu memiliki pegangan hidup.
c. Fokus dan bentuklah komunikasi dengan orang sekitar, komunikasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyampaikan kendala dan masalah yang sedang dihadapi, dari komunikasi juga akan terbentuk relasi yang memungkinkan terbentuknya peluang-peluang baru.
d. Belajar menentukan prioritas dalam hidup, mulailah memprioritaskan hal-hal yang paling penting hingga kurang penting, baik dalam hubungan, pekerjaan maupun kegiatan.
e. Jangan ragu meminta bantuan psikolog atau professional, dalam menghadapi fase ini. Tentunya pada fase ini seseorang membtuhkan fisik dan mental yang kuat agar krisis tidak berlanjut lebih jauh yang berujung pada kewalahan, Jangan ragu mencari bantuan professional.
Ketika seseorang berhasil melalui fase quarter life crisis, selain mencapai kehidupan yang lebih stabil, individu akan lebih mampu ketika dihadapkan pada permasalahan. Bahkan, individu yang berhasil melalui quarter life crisis juga akan menyadari bahwa perubahan yang tidak menyenangkan terkadang memang dibutuhkan agar bisa meraih yang diinginkan (Argasiam, 2019 dalam (Fazira et al., 2022).
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa tahap
perkembangan dewasa awal adalah tahap yang berat bagi hampir sebagian individu,
karena pada tahapan inilah banyak tuntutan dan tanggung jawab yang harus dijalani.
Tentunya secara tidak langsung individu diharuskan berani membangun tujuan
hidup hingga mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidupnya, serta berusaha
untuk tidak takut mencoba berbagai peran atau mencari berbagai kegiatan untuk
memberikan arti dalam hidpunya. Namun sudah seharusnya individu ditahap dewasa
awal memiliki rancangan kehidupan dimasa depan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan tidak membandingkan diri
sendiri dengan pencapaian orang lain dan fokus pada apa yang menjadi tujuan
hidup, karena setiap orang memiliki ritmenya masing-masing. Pada perosesnya
tentu akan banyak hambatan dan krisis yang akan dihadapi, jadikanlah krisis
tersebut sebagai titik balik dan pengalaman karena pada hakikatnya pengalaman
adalah guru terbaik.
DAFTAR PUSTAKA :
Adiyatma, Y. (2023). Mengenali Quarter Life Crisis dan
Cara Menghadapinya. Kementrian Kesehatan Direktorat Jendral Pelayanan
Kesehatan.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2046/mengenali-quarter-life-crisis-dan-cara-menghadapinya
Corriana.
(2023). Teori Decision Making Dalam Psikologi. DosenPsikologi.Com.
https://dosenpsikologi.com/teori-decision-making-dalam-psikologi
Dariyo, A.
(2008). Psikologi perkembangan dewasa muda (L. Evelina (ed.); 3rd ed.).
Grasindo.
Fazira, S. H.,
Handayani, A., & Lestari, F. W. (2022). Faktor Penyebab Quarter Life Crisis
Pada Dewasa Awal. Jurnal Pendidikan Dan Konseling, 4(2),
1349–1358.
Hurlock, E. B.
(1980). Developmental Psychology: A Life-span Approach (5th ed.).
McGraw-Hill.
Manalu, D.
(2020). Langkah-Langkah Dalam Pengambilan Keputusan. OSF Preprints, 9.
https://osf.io/v5qea
Mappiare, A.
(1983). Psikologi Orang Dewasa : Bagi Penyesuaian dan Pendidikan (1st
ed.). Usaha Nasional.
Murphy, M.
(2011). Emerging adulthood in Ireland: Is the quarter-life crisis a common
experience? Thesis of Family and Community Studies, September,
1–44.
https://pdfs.semanticscholar.org/0f75/a32d8463a5b30b4c5c435219805e33a73eeb.pdf
Nurhazlina
Mohd. Ariffin, M. J. S. R. K. (2021). Perkembangan Usia Dewasa : Tugas Dan
Hambatan Pada Korban Konflik Pasca Damai. Bunayya : Jurnal Pendidikan Anak,
7(2), 114. https://doi.org/10.22373/bunayya.v7i2.10430
Permatasari, I.
(2021). Hubungan Kematangan Emosi Dengan Quarter Life Crisis Pada Dewasa
Awal. Universitas Muhammadiyah Malang.
Putri, A. F.
(2018). Pentingnya Orang Dewasa Awal Menyelesaikan Tugas Perkembangannya. SCHOULID:
Indonesian Journal of School Counseling, 3(2), 35.
https://doi.org/10.23916/08430011
Rustandi, D. O.
(2022). Hubungan Antara Loneliness dengan Quarter Life Crisis Pada Dewasa
Awal di Pekanbaru. Universitas Islam Riau Pekanbaru.
Septiana, S. M.
(2014). Paper Psikologi Sosial Dicision-Making Process.
Theresia.
(2023). Quarter Life Crisis: Sebuah Tahap Menuju Kedewasaan. Binus
University Faculty of Psychology.
https://psychology.binus.ac.id/2022/11/29/quarter-life-crisis-sebuah-tahap-menuju-kedewasaan/
Wiraswati, A.
A. K. S., & Supriyadi, S. (2015). Hubungan Antara Harga Diri dengan Pengambilan
Keputusan untuk Kawin pada Wanita Bali Usia Dewasa Awal. Jurnal Psikologi
Udayana, 2(1), 13–24. https://doi.org/10.24843/jpu.2015.v02.i01.p02
b.
1
1.
b.
1.